ANTARA/HO
Jakarta (ANTARA) – Pada 15 Agustus 2025, para moviegoer serta pencinta film dan anime di Indonesia memadati bioskop-bioskop tanah air.
Sebagian unjuk gigi dengan mengenakan cosplay karakter favorit mereka, sementara yang lain tampak antre membeli popcorn sambil membicarakan satu judul yang tengah hangat, "Demon Slayer: Infinity Castle" (2025).
Anime garapan studio Ufotable ini bukan sekadar hiburan semata, tetapi telah menjelma menjadi fenomena global, termasuk di Indonesia.Antusiasme terhadap film ini memang luar biasa. Di hari pertama penayangan saja, "Demon Slayer: Infinity Castle" berhasil meraih lebih dari 461.000 penonton, rekor pembukaan terbesar untuk film anime di Indonesia. Dilansir dari situs web Cinepoint, sebuah aplikasi rating film dan box office di Indonesia, per 29 Agustus 2025, film ini telah ditonton lebih dari 2,28 juta orang, menjadikannya film anime terlaris sepanjang masa di Indonesia, melampaui rekor yang sebelumnya dipegang oleh "One Piece Film: Red" (2022), dengan meraup lebih dari ratusan miliar.Sekilas, Demon Slayer yang diadaptasi dari manga berjudul sama, mungkin tampak seperti pertarungan ala shounen pada umumnya: pahlawan muda, iblis jahat, teknik pedang hebat.
Namun di balik itu terdapat nuansa tradisi Jepang yang kuat. Berlatar di zaman Taisho, anime ini memadukan nilai-nilai lama seperti kehormatan keluarga dan spiritualitas yang mengingatkan kita pada filosofi samurai, serta teknik pernapasan yang berakar pada disiplin diri.
Demon Slayer menunjukkan bagaimana cerita tradisional Jepang yang berakar pada nilai lama bisa disajikan dalam format modern, dengan sinematografi canggih dan visual efek yang memukau, membuatnya relevan bagi audiens global.Fenomena ini bukan kejadian tunggal. Dalam beberapa tahun terakhir, sinema Asia, terkhusus dari China, Jepang, Korea, Thailand, hingga Indonesia, terus memperlihatkan taringnya dalam meracik warisan budaya menjadi kisah yang relevan bagi era modern.
Tidak hanya dalam segi visual, tapi juga dalam kedalaman cerita yang menggambarkan bagaimana manusia berjuang dengan nilai-nilai lama yang masih membentuk, membatasi, atau bahkan memberikan arah dalam hidup mereka.
Saya sangat menikmati 'Demon Slayer: Infinity Castle'. Anime ini sangat bagus, memadukan nuansa tradisional dan energi modern, grafiknya luar biasa, serta memiliki alur cerita yang seru dan menegangkan. Nilai-nilai perjuangannya pun begitu menyentuh," kata Septri (29), salah satu penggemar berat anime tersebut kepada Xinhua pada Jumat (15/8).
Narasi Kuno Dalam Bingkai BaruSalah satu kekuatan utama sinema Asia adalah kemampuan menghidupkan kembali cerita-cerita lama, bukan sekadar meromantisasi masa lalu, tetapi sebagai ruang reinterpretasi yang segar, relevan, bahkan progresif.
Tradisi tak lagi disuguhkan sebagai sesuatu yang kaku dan kuno, melainkan sebagai bahan baku narasi yang bisa diolah dengan sudut pandang baru sesuai zaman.Contohnya terlihat jelas dalam "The Handmaiden" (2016) karya Park Chan-wook. Meski diadaptasi dari novel Inggris era Victoria, film ini ditransformasikan ke konteks Korea saat penjajahan Jepang, menambahkan lapisan kompleks tentang identitas nasional, relasi kuasa, dan dinamika kelas sosial.
Gaya berceritanya yang sensual dan penuh intrik tetap berakar pada rasa "Timur" yang khas, menciptakan jembatan unik antara budaya asing dan lokal.
Contoh lain datang dari film animasi "Ne Zha" (2019) serta "Ne Zha 2" (2025) asal China. Diangkat dari mitologi kuno, karakter Nezha yang dulu dikenal sebagai dewa pemberontak kini dimaknai ulang sebagai simbol anak muda yang melawan stigma dan prediksi buruk yang dilekatkan padanya sejak lahir. Lewat pendekatan ini, Ne Zha tak hanya menghidupkan legenda lama, tetapi juga menyuarakan isu kontemporer seperti stereotipe sosial, tekanan identitas, dan kebebasan memilih jalan hidup sendiri. Film ini menjadi simbol perlawanan terhadap takdir yang dipaksakan oleh masyarakat dan harapan akan kebebasan individu di dunia modern. Di Jepang, "Departures" (2008) memperlihatkan keindahan dan kedalaman tradisi upacara kematian. Cerita tentang seorang musisi yang beralih profesi menjadi pengurus jenazah membuka mata penonton akan ritual kuno yang penuh rasa hormat. Film ini memadukan cerita emosional dan ritual budaya yang sangat kaya dengan sinematografi modern, membuat tradisi terasa hidup dan bermakna dalam konteks sekarang.
Kisah-kisah lama yang diceritakan ulang ini bukan hanya hidup lewat dialog dan konflik, tapi juga lewat cara mereka divisualisasikan. Dari latar, kostum, hingga atmosfer, semuanya turut menghidupkan tradisi lewat layar.Menghidupkan Tradisi Dengan Sentuhan ModernVisual dalam sinema Asia bukan hanya pelengkap, tapi bagian penting dalam menghadirkan nuansa tradisi di era modern. Jika hanya menampilkan hal-hal lama tanpa sentuhan kekinian, film bisa terasa ketinggalan zaman atau membosankan bagi penonton modern.Sineas Asia banyak yang berhasil menyeimbangkan elemen visual klasik seperti arsitektur kuno, pakaian adat, dan lanskap alam yang kental dengan unsur teknologi film terbaru, CGI, sinematografi canggih, serta teknik tata cahaya dan warna yang inovatif. Perpaduan ini tidak hanya membuat film lebih menarik secara estetika, tapi juga memberi kedalaman makna.Film "Shadow" (2018) menampilkan dunia yang tampak seperti lukisan tinta klasik China, berkat palet warna monokrom dan set yang menyerupai karya seni zaman dinasti. Koreografi pertarungan dalam film ini dirancang seperti tarian, memadukan seni bela diri dengan estetika visual yang memukau.
Di Jepang, "Departures" (2008) memperlihatkan keindahan dan kedalaman tradisi upacara kematian. Cerita tentang seorang musisi yang beralih profesi menjadi pengurus jenazah membuka mata penonton akan ritual kuno yang penuh rasa hormat. Film ini memadukan cerita emosional dan ritual budaya yang sangat kaya dengan sinematografi modern, membuat tradisi terasa hidup dan bermakna dalam konteks sekarang. "Parasite" (2019) arahan Bong Joon-ho menjadi contoh utama, dengan berhasil meraih penghargaan tertinggi seperti Oscar sekaligus membuka pintu bagi film-film Korea lainnya. "Ne Zha" dan film animasi China lainnya menarik perhatian internasional lewat kisah mitologi yang diolah dengan pendekatan modern. Keberhasilan ini menunjukkan bahwa akar budaya tidak membatasi sebuah karya, justru membuatnya lebih kuat, karena kejujuran dan kedalaman lokal sering kali yang paling menyentuh secara global.
Namun, tradisi yang divisualkan secara kaya ini bukan sekadar latar atau estetika; seringkali tradisi itu menjadi panggung bagi konflik batin para karakter yang hidup di persimpangan nilai lama dan dunia modern.Karakter Yang Di Tengah Tradisi Dan ModernitasKarakter-karakter dalam film Asia sering kali dihadapkan pada dilema antara menjaga tradisi dan menjalani kehidupan modern yang penuh kebebasan dan pilihan baru. Pergulatan ini menjadi bahan dramatis yang kuat, karena menyentuh realitas banyak orang di Asia maupun di seluruh dunia.Di Indonesia, film "Yuni" (2021) menghadirkan kisah seorang perempuan muda yang menolak pernikahan dini, melawan tekanan tradisional yang ingin membatasi hidupnya. Konflik batin ini menggambarkan ketegangan antara nilai lama dan aspirasi modern, yang sangat relevan dengan kondisi sosial sekarang.Begitu juga film Korea-Amerika, "Minari" (2020) yang menyentuh isu imigrasi dan adaptasi budaya, di mana karakter-karakter dalam sebuah keluarga harus menyeimbangkan antara nilai-nilai asal Korea dengan kehidupan baru di Amerika. Ini contoh bagaimana film dapat mengeksplorasi tradisi dalam konteks global dan modern.Film seperti Minari dan Yuni memperlihatkan bagaimana karakter-karakter tersebut berusaha berdamai dengan dua dunia, tradisi dan modernitas, yang kadang berjalan berlawanan arah.Tapi pergulatan itu tidak hanya hadir dalam narasi realis. Banyak sineas Asia justru mengekspresikannya lewat genre-genre populer seperti horor, fantasi, dan drama spekulatif.Genre Sebagai Media Eksplorasi Tradisi Dalam Format BaruGenre horor, fantasi, dan drama sering dipakai sineas Asia untuk menyampaikan cerita tradisional dengan cara yang lebih segar dan menarik bagi penonton masa kini. Genre ini memberikan ruang untuk berimajinasi dan menggali simbol-simbol budaya secara lebih bebas.Film horor Indonesia besutan Joko Anwar "Pengabdi Setan" (2017) yang merupakan remake dari film dengan judul sama, menggunakan mitos lokal dan kepercayaan tradisional sebagai sumber ketakutan yang juga merefleksikan trauma budaya dan tekanan sosial. Dengan gaya visual dan narasi yang modern, film ini berhasil membawa tradisi ke dalam dunia horor kontemporer.Dari Thailand, "The Medium" (2021) menyuguhkan horor spiritual yang berakar kuat pada tradisi perdukunan dan kepercayaan animistik lokal di negara itu. Film ini menyoroti konflik antara warisan budaya dan dunia modern yang mulai mempertanyakan kepercayaan kuno. Dengan pendekatan dokumenter palsu dan visual yang sangat sinematik, "The Medium" menunjukkan bagaimana budaya lokal bisa tetap relevan, bahkan di genre horor paling kontemporer sekalipunMelalui genre ini, para pembuat film tak hanya menghibur, tapi juga memperluas jangkauan tradisi, hingga terasa lebih universal dan mudah diakses oleh penonton lintas budaya. Ini pula yang menjadi salah satu alasan mengapa cerita-cerita tradisional Asia kini semakin mendunia.Penonton Global Dan Resonansi BudayaFilm-film Asia yang sangat lokal dan sarat tradisi kini semakin mendapat tempat di panggung global. Ini karena film-film tersebut menyajikan cerita yang otentik, penuh emosi, dan membahas isu universal seperti keluarga, identitas, dan perjuangan hidup.
"Parasite" (2019) arahan Bong Joon-ho menjadi contoh utama, dengan berhasil meraih penghargaan tertinggi seperti Oscar sekaligus membuka pintu bagi film-film Korea lainnya. "Ne Zha" dan film animasi China lainnya menarik perhatian internasional lewat kisah mitologi yang diolah dengan pendekatan modern. Keberhasilan ini menunjukkan bahwa akar budaya tidak membatasi sebuah karya, justru membuatnya lebih kuat, karena kejujuran dan kedalaman lokal sering kali yang paling menyentuh secara global
Sinema Asia menunjukkan bagaimana tradisi bukan penghambat, tetapi sumber kekuatan yang bisa dikemas ulang dengan kreativitas dan teknologi modern. Film-film itu menawarkan cerita yang berakar, namun punya sayap untuk terbang ke dunia luas.Inilah yang membuat film-film Asia tak hanya relevan di tanah air, tapi juga dicintai penonton global, menjadi sebuah jembatan antara masa lalu dan masa depan, antara budaya lokal dan dunia modern.
Penerjemah: XinhuaEditor: Alviansyah Pasaribu Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.